Kamis, 06 Agustus 2009

Mu'asyaroh Bil Ma'ruf ( Tafsir QS. An-Nisa : 19-20 )

Oleh : A'la Rotbi


A.PENDAHULUAN

Al-Qur'an sebagai hudan linnas ( Petunjuk hidup manusia ) telah berhasil mengantarkan ummat pengikutnya menjadi khoiru ummah dan pemimpin peradaban dunia. Tiada satu sisi pun dari kehidupan manusia, kecuali al-Qur'an memberikan secercah cahayanya. Bila cahaya yang dipancarkannya belum cukup menerangi kegelapan suatu sisi kehidupan maka Rosulullah Sang penterjemah al-Qur'an yang menambah daya cahaya itu, bahkan para ulama yang lahir kemuadian hari pun terus meningkatkan jangkauan cahayanya sesuai dengan perkembangan jaman.

Cahaya al-Qur'an pun sangat besar untuk sisi kehidupan berkeluarga. Rumahtangga pasti mencapai puncak kebahagian 'Rumahku adalah surgaku', bila seluruh anggota keluarga itu mengikuti tuntunan al-Qur'an dan menjadikannya sebagai cahaya rumah mereka. Nabi SAW telah berwasiat pada kita : Terangilah rumah kalian dengan bacaan al-Qur'an. Banyak sekali ayat – ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan al-hayat al-jauziyah ( kehidupan berkeluarga ). Pada makalah sederhana ini, penulis hanya membahas tafsir dan hukum-hukum yang dapat digali dari ayat 19-20 dari surat an-Nisa' saja.

B.PEMBAHASAN

I. AYAT AL-QUR'AN WA TARJAMAH

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينا

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

II. MAKNA MUFRODAT

· تَرِثُوا dari kata ورث yang artinya mewarisi. Adapun yang dimaksud pada ayat ini adalah menjadikan wanita seperti harta yang dapat diwariskan dari para suaminya seperti warisan harta lainnya.[1]

· كَرْهًا dengan fathah kaf berarti paksaan, sebagaimana dikatakan : طوعا او كرها yang artinya : 'dengan penuh keta'atan atau keterpaksaan'. Bila dibaca dengan dommah kaf, bermakna مشقة artinya keberatan. Al-Kisai berkata : keduanya adalah bahasa arab yang dipakai dengan makna sama. Sedangkan al-Farra' berpendapat : Karhan itu dipaksakan oleh orang lain dan kurhan adalah keberatan yang timbul dari dirinya sendiri.[2]

· تَعْضُلُوا dari kata العضل yang berarti التضييق والمنع ( mencegah dan mempersempit ). Makna tersebut kembali pada kata الحبس yang artinya menahan / memenjara. Imam al-Qurtubi berkata : " تعضلوهن " معناه تحبسوهن[3]

· فَاحِشَةٍ artinya jelek / tercela. Ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan kalimat ini. Berkata al-Hasan : ia adalah zina. Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, al-Dlohhak dan Qotadah berpendapat : Fahisyah Mubayyinah dalam ayat ini adalah marah dan membangkang. Ada juga yang berpendapat : Fahisyah adalah kasar dalam berkata dan berprilaku jelek, baik perkataan maupun perbuatan.[4]

· عَاشِرُوا dari lafadz عشر yang arti hakikinya dalam bahasa Arab adalah sempurna dan optimal. Diantara kata yang derivatif darinya adalah asyiroh dan asyaroh yang artinya sepuluh. Sepuluh adalah menunjukkan kata puncak dalam hitungan.[5]

· قِنْطَارًا dalam budaya Arab adalah sejumlah harta yang banyak tapi mereka berbeda pendapat tentang ukuran pastinya. Sebagaimana dalam hadits Nabi SAW, sbb : من قرأَ أَربعمائة آية كتب له قِنْطارٌ ( Barang siapa yang membaca 400 ayat maka ditulis baginya Qinthor ). Ada sekitar sepuluh pendapat mengenai batas atau arti dari qinthor ini, al :

1. sepuluh ribu dirham, sebagaimana disebut oleh al-Hasan dan Ibnu Abbas.

2. seribu dua ratus dirham, ini pendapat yang juga dikemukakan oleh al-Hasan.

3. seukuran diyat salah seorang diantara kamu ini pendapat Abdulloh bi Abbas.

4. seribu dua ratus uqiyah, saperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.

5. dua belas ribu uqiyah, sebagaimana pendapat pilihan Abu Hurairah

6. delapan puluh ribu dirham, diriwayatkan ibnu Abbas dan Ibnu Musayyib.

7. seratus rithl, sebagaimana disebutkan oleh Qotadah.

8. tujuhpuluh dinar, seperti yang dikatakan oleh Mujahid.

9. sepenuh tempat misik berpa emas, dikatakan Abu Said al-Khudri.

10. harta yang banyak dan tanpa batas, inilah pendapat jumhur ulama.

· أَفْضَى Secara bahasa kata ini berasal dari kata الفضاء yang artinya tempat yang luas. Saat digunakan sebagai kata kerja mempunyai arti 'mencapai/menyambung'.[6] al-Qurtubi mengatakan asal katanya dari kata فوضى فضا mempunyai arti 'bercampur'. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat ini, menurut sebagian ulama, adalah bila suami sudah satu selimut dengan istrinya, bersetubuh ataupun tidak. Ibnu abbas, Mujahid, al-suddiy dan lainnya berkata : maksud kata ini dalam ayat tersebut adalah jima' / bersetubuh.[7]

III. ASBAB NUZUL AYAT

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat 19 dari surat an-Nisai diatas, antara lain :

  1. dari Ibnu Abbas, ia berkata : seorang lelaki di masa jahiliyah, jika ia meninggal maka walinya laki-laki itu adalah yang paling berhak terhadap istrinya daripada wali istrinya sendiri. Jika ia mau, maka ia sendiri yang menikahinya. Atau ia nikahkan wanita itu dengan lelaki yang lain. Ini diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Abu Daud.
  2. al-Zuhri dan Abu Majliz berkata : diantara adat jahiliyah, bila seorang meninggal maka anaknya yang dari istri lainnya atau kerabatnya yang terdekat melemparkan baju pada istri yang meninggal tadi. Dengan demikian, ia lebih berhak terhadap wanita itu daripada wanita itu pada dirinya sendiri dan daripada walinya juga. Bila ia mau, ia nikahi tanpa mahar kecuali mahar yang pernah diberikan si mayyit. Bila ia mau, ia nikahkan pada orang lain lalu ia ambil maharnya tanpa memberinya sedikitpun. Jika ia mau, ia tahan wanita itu ( tidak dinikahi dan tidak dinikahkan ) hingga ia menebus dirinya dengan warisan dari si mayit atau ia meninggal dan diambil warisannya.
  3. al-Suddiy berkata : ahli waris si mayit bila lebih dulu melempar baju kepada istri si mayit maka ia lebih berhak terhadap wanita itu. Bila istri si mayit lebih mendahuluinya maka ia pulang ke keluarganya dan ia lebih berhak atas dirinya.
  4. diriwayatkan : ada lelaki punya istri sudah tua, sementara dirinya hanya tertarik pada yang muda. Ia tidak mau mencerai yang tua karena hartanya, tidak juga digaulinya agar wanita tua itu menebus dirinya dengan hartanya atau ia mati hingga dapat diwarisi hartanya.[8]
  5. Zaid bin Aslam berkata tentang ayat ini : Ahli Yatsrib itu bila ada lelaki meninggal maka ahli warisnya mewarisi istrinya. Lalu ia tahan wanita itu hingga mati untuk diwarisi hartanya. Atau ia nikahkan wanita itu pada orang lain. Sedangkan orang Tuhamah, seorang suami berbuat jelek dalam menggauli istrinya hingga mencerainya, namun ia mensyaratkan atas istrinya tidak menikah dengan lelaki lain kecuali yang ia kehendaki atau menebus diri dulu dengan sebagian harta yang telah diberikan kepadanya. Maka Alloh SWT melarang orang beriman dari kebiasaan jahiliyah itu. [9]
  6. Ikrimah berkata : ayat ini turun pada kisah Kubaisyah binti Ma'n bin 'Ashim bin al-Aus, saat suaminya Abu al-Qois bin al-Aslat meninggal maka anaknya menahan Kubaisyah. Lalu ia mengadu kepada Rosulullah : Ya Rosulalloh, saya tidak mendapat warisan suami saya dan tidak dibiarkan menikah lagi. Maka Alloh menjawab pengaduan ini dengan turunnya ayat tersebut.[10]

IV. TAFSIR AYAT

· لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ....

Tarjamah ayat ini : "…tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa". Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

Al-Qurtubi berkata : maksud ayat ini adalah menghilangkan adat kebiasaan jahiliyah dan bahwa wanita tidak boleh dijadikan seperti harta yang dapat diwarisi dari suaminya.[11] Ibnu katsir berkata : Ayat ini mencakup semua kebiasaan masyarakat jahiliyah ( sebagaimana yang diriwayatkan sebagai sebab – sebab turunnya ayat) dan apa yang disebut Mujahid beserta yang setuju dengannya.[12] Diantara praktek jahiliyah yang dilarang itu antara lain :

- Menikahi istri bapak yang bukan ibunya setelah meninggalnya.

- Menikahi istri kerabat yang meninggal tanpa mahar baru.

- Menikahkan istri si mayit dan mengambil maharnya.

- Meminta tebusan kepada istri si mayit atas dirinya.

- Menahan istri sendiri atau istri si mayit, tidak dinikahi dan digauli atau dibiarkan dinikahi orang lain, hingga ia mati agara dapat warisan hartanya.

· وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

Pada penggalan ayat ini, Alloh mengarahkan pembicaraan kepada para suami yang berlaku jelek, kasar atau dhalim terhadap istrinya : "dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata". Maksudnya : seseorang memiliki istri yang ia tidak sukai padahal sudah diberikan mahar, lalu ia susahkan wanita itu agar mau menebus dirinya dengan mahar tersebut. Demikian dikatakan al-Dlohhak, Qotadah dan lainnya, pendapat ini yang dipilih ibnu jarir.

· وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Pada penggalan ayat ini, Alloh SWT memerintahkan para suami untuk bergaul optimal dan sempurna dengan istri dengan cara yang baik atau dikenal dengan istilah Muasyaroh bil ma'ruf. Kata al-ma'ruf artinya segala sesuatu yang dimaklumi atau dikenali kebaikan atau kebenarannya, baik menurut atauran Alloh dan Rosulnya maupun ukuran rasional manusia normal dan masyarakat banyak. Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, yakni "Baguskanlah perkataan kalian kepada istri-istrimu, perbaikilah tingkah laku dan penampilan kalian sebatas kemampuanmu. Sebagaimana kamu senag istri berlaku seperti itu, maka berlakulah kamu seperti itu pula. Hal ini sesuai dengan firmannya : "Bagi istri berhak mendapat kebaikan seperti kewajibannya" dan sabda Nabi : Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya. Dan saya yang terbaik terhadap istri".[13]

Dalam prosesi pernikahan di negeri kita, biasanya sang suami diminta membacakan shighot ta'liq yang di dalamnya mengandung janji suami untuk menggauli istrinya dengan mu'asyaroh bil ma'ruf. Penulis berpendapat bahwa melaksanakan kewajiban suami istri yang satu ini, tidak akan tercapai kecuali jika suami istri mengikuti dan mengaflikasikan apa yang digambarkan Alloh dan Rosulnya tentang batasan hubungan mereka berdua. Hal tersebut antara lain :

1. Suami dan istri adalah pasangan, sebagaimana dalam QS. Ar-Ruum : 21. وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri …"

2. Suami atau istri adalah pakaian bagi lainya, sebagaimana QS. Al-Baqoroh : 187. أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka".

3. Suami adalah pemimpin bagi istrinya, sebagaimana QS. An-Nisa : 34. الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka".

4. Istri adalah ladang untuk suaminya, sebagaimana QS. Al-Baqoroh : 223 نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ "Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, … ".

· فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Maknanya adalah : jika seorang suami mendapat sesuatu yang tidak disukai pada istrinya dan sangat membenci hal itu serta tidak nyaman dekat dengannya, namun dia tidak melakukan perbuatan keji dan nusyuz, maka hendaknya ia bersabar atas hal tersebut, sebab bisa saja ini merupakan sesuatu yang baik baginya.

Abul qasim bin abu habib balmahdiyah memberitakan pada saya , dari abul qasim as-sayuri dari abu bakar bin abdur rahman , dia berkata , " syaikh abu muhammad bin abu zaid dikenal sebagai sosok yang memiliki ilmu dan agama yang sangat kuat . namun sayangnya , dia memiliki seorang istri yang memiliki perilaku dan pergaulan yang buruk . dia banyak tidak memenuhi hak–hak suaminya itu . dia sering menyakiti suami nya dengan ucapan dari lidahnya dengan cara yang sangat pedas . Maka , ada sebagian orang yang berkomentar tentang istrinya ini , dia mengatakan bahwa dirinya hendaknya sabar atasnya . dia juga berkata , " saya adalah seorang lelaki yang telah Allah sempurnakan ni'mat-Nya kepadaku ' dengan badan yang sehat , dengan ilmu pengetahuan yang Allah berikan , serta budak yang aku miliki . Mungkin dia diberikan kepada saya sebagai ujian atas agama saya . Maka saya khawatir jika menceraikannya , Allah akan menurunkan ujian yang lebih berat daripadanya kepada saya".[14]

· ..... وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْج

Muhammad Ali al-Shobuni menjelaskan maksud ayat ini : Dan jika kalian – wahai orang beriman- akan menikahi wanita lain sebagai pengganti wanita yang telah kamu ceraikan, dan kalian telah memberikan mahar besar yang mencapai berat jembatan kepada yang dicerai itu, maka jangan kalian mengambilnya walau sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya dengan dhalim dan melampaui batas ?[15]

Tatkala Alloh SWT telah membolhkan terjadinya perceraian dan memungkinkan terjadi pernikahan kembali dengan yang lain, maka Dia memberitahukan tentang agamaNya yang lurus dan jalanNya yang lapang : yaitu tentang pemenuhan hak-hak mereka jika bercerai. Alloh melarang para suami mengusik-usik mahar yang telah diberikan kepada istrinya, sebab telah menjadi hak istrinya itu.[16]

· وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ .....

Dan bagaimana dibolehkan mengambilnya bagi kalian, padahal kalian telah menikmati wanita itu dalam hubungan suami istri dan persenggamaan, padahal kalian telah menghalalkan farji mereka dengan kalimat Alloh ( akad nikah ). Bagaimana kalian mengambil kembali mahar yang telah diberikan lewat perjanjian besar ini ?[17] Imam al-Qurthubi berkata : Ayat ini adalah illat ( alasan ) larangan mengambil kembali mahar dari istri yang sudah kholwat ( berduaan walau tidak berjima ) dengan suaminya.[18]

V. AHKAM FIQHIYAH

Dari tafsir ayat-ayat diatas, ada beberapa hukum fiqih yang perlu pembahasan lebih detail, diantaranya :

1. Berapa ukuran mahar dalam pernikahan Islam ?

Mahar dalam Islam adalah Hibah dan pemberian, ia tidak ada ukuran yang ditentukan. Ulama bersepakat bahwa tidak ada batas maksimalnya, dengan dalil ayat tersebut diatas. Al-Qurtubi berpendapat bahwa ayat ini sebagai dalil atas bolehnya berlebihan dalam mahar, karena Alloh tidak memberi contoh kecuali dengan yang mubah. Ulama lain berpendapat bahwa ayat itu tidak memberikan kebolehan berlebih-lebihan dalam mahar.

Umar pernah berkata diatas mimbar,"Ketahuilah, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memberi mahar kepada wanita, sebab jika itu merupakan sebuah kemuliaan dan dianggap sebagai sebuah ketkwaan di sisi Allah, maka pastilah rasulullah yang paling pantas melakukan itu. Namun rasulullah tidak pernah memberikan mahar kepada istri-istrinya. Dan tidak boleh menentukun mahar kepada anak-anaknya lebih dari dua belas uqiyah." Maka saat itulah, seorang wanita tua berdiri dan berkata : Wahai Umar ! Alloh telah memberikan mahar kepada kami, apakah kamu akan mengharamkannya ? Lalu ia membacakan ayat diatas. Umar berkata : Benar wanita itu dan telah salah Umar.[19]

Adapun batas minimalnya, para ulama berbeda pendapat sebagimana berikut :

a. minimal tiga dirham ( seperempat dinar ), ini madzhab Malik

b. minimal 10 dirham ( satu dinar ), ini madzhab Abu Hanifah

c. tidak dibatasi, boleh dengan apa saja yang memiliki harga, ini madzhab Syafi'i dan Ahmad.[20]

2. Bagaimana hukum mengambil kembali harta yang telah diberikan kepada istri ?

Para ulama telah mufakat bahwa khulu' atau tholaq dengan pengembalian harta ( iwadl ) itu mu'tabar atau dibolehkan. Khulu' ini dapat terjadi dari pihak wanita, -ini yang lazim- dan dapat diterima dari pihak suami, ini yang ada kaitannya dengan al-'adlol pada bahasan ayat diatas[21].

Imam al-Qurthubi berkata : Ulama berbeda pendapat, apabila suami istri menghendaki cerai dan antara keduanya ada nusuz dan pergaulan yang jelek. Imam Malik berpendapat : Suami boleh mengambil harta dari istrinya bila istrinya menjadi penyebab hal itu dan tidak perlu diperhatikan penyebab yang bersumber dari suami. Sebagian Ulama berpendapat : tidak boleh bagi suami mengambil harta ( iwadl ) kecuali si istri yang menjadi penyebabnya dan yang meminta cerainya.[22]

Ijma Ulama telah terbentuk atas disyari'atkannya khulu' ini, kecuali Bakr bin Abdillah al-Muzanni seorang tabi'i. Ia berkata : seorang suami tidak halal mengambil sesuatu sebagai imbalan atas perceraiannya karena ayat فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا , dan ia berpendapat bahwa ayat ini menasakh QS. al-Baqoroh : 229.[23]

Adapun dalil ijma ulama diatas, sebagai berikut :

a. الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِه ........ "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya …".

b. Adapun ayat yang sedang kita bahas ( an-Nisa : 20 ) itu ditakhshish oleh ayat al-Baqoroh diatas dan oleh dua ayat an-Nisa : 4 dan 128 : وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا

c. Hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori, an-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan lainnya tentang khulu'nya Jamilah binti Abdillah bin Ubay bin Salul dari suaminya Tsabit bin Qois bin Syammas. Rosulullah menyuruhnya untuk mengembalikan maharnya berupa sebidang kebun kepada suaminya untuk menceraikannya.

3. Apa hukum 'izin istri untuk berpoligami' bagi suaminya ?

Penulis mendapatkan para ulama hanya menyebutkan dua syarat bagi poligami, yaitu sanggup berlaku adil dan mampu memberikan nafkah terhadap istri-istrinya. Bahkan Majma'ul Buhuts al-Islamiyah Mesir pada Mu'tamar keduanya di Kairo ( 1965 ) menetapkan bahwa izin hakim / pemerintah tidak menjadi syarat sahnya ta'addud ini, mereka menyatakan hal ini adalah ijma sukuti[24].

Dengan demikian, izin istri tidak menjadi syarat bagi poligami. Namun Islam mengharuskan para suami mu'asyarah bil ma'ruf terhadap istrinya, diantara tuntutan mu'asyarah adalah tidak menipu, tidak mengelabui, tidak mengkhianati dan tidak menyakiti istrinya. Agar tidak terjadi hal-hal tersebut pada saat suami berpoligami maka dianjurkan untuk memberitahukan akan niatnya berpoligami hingga istrinya mengijinkan dan menerima langkahnya tersebut.

C. PENUTUP

Demikianlah , sedikit upaya penulis mengemukakan hasil bacaannya yang masih sangat terbatas terhadap tafsir tiga ayat al-Qur'an dari ratusan ayat yang berkaitan dengan kehidupan suami istri dalam berkeluarga. Semoga bermanfa'at dan mendapat masukan atau tambahan pengetahuan dari dosen pembimbing, rekan mahasiswa dan pembaca lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

· Al-Qur'an al-Karim dan tarjamahnya

· Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Darul Kutub al-Ilmiyah – Bairut, 1993 M.

· Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, al-Imam al-Hafidh Abul Fida Isma'il ibnu Katsir, Maktabah al-Ulum wal Hikam – Madinah, 1993 M.

· Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam minal Qur'an, Muhammad Ali al-Shobuni, Dar Ihya Turots al-Arobi.

· Tafsir Wanita, tarjamah 'Tafsir al-Qur'an al-Azhim li an-Nisa karya Syaikh Imad Zaki al-Barudi, penerjemah : Samson Rahman, Pustaka al-Kautsar, 2003 M.

· Al-Mufashshol fi Ahkamil Mar'ah wal Baitil Muslim fis Syari'ah al-Islamiyah, DR. Abdul Karim Zaidan, Muassasah al-Risalah,1997 M.

· Nailul Author Syarh Muntaqol Akhbar, al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Darul Hadits – Kairo, 1993 M.



[1]. Al-Jami li ahkamil Qur'an, hal 63, vol 3

[2] . Rawa'iul Bayan, hal 445, vol 1

[3] . al-Jami' li ahkamil Qur'an, hal 153, vol 1

[4] . ibid, hal 63-64, vol 3

[5] . lihat Lisanul Arob, hal 567-568, vol 4

[6] . Lisanul Arob

[7] . al-Jami' li ahkamil Qur'an, hal 67-68, vol 3

[8] . al-Jami li ahkamil Qur'an, hal 62-63, vol 3

[9] . Tafsir al-Qur'an al-Adzim, hal 441, vol 1

[10] . Ibid

[11] . al-Jami li ahkamil Qur'an, hal 62-63, vol 3

[12]. Tafsir al-Qur'an al-Adzim, hal 441, vol 1

[13] . Tafsir al-Qur'an al-Azhim, hal 442, vol 1

[14] . Tafsir Wanita, hal 398

[15] . Rawa'iul Bayan, hal 448, vol 1

[16] . Tafsir Wanita, hal 399

[17] . Rawa'iul Bayan, hal 448, vol 1

[18] . al-Jami li ahkamil Qur'an, hal 67, vol 5

[19] . Tafsir Wanita, hal 400

[20] . Ibid, hal 453-454

[21] . lihat al-Mufashshol, hal 121- 128, vol 8

[22] . al-Jami' li Ahkamil Qur'an, hal 66, vol 5

[23] . Nailul Author, hal 290, vol 6

[24] .al-Mufashshol, hal 291-292, vol 6